Ini Tawaran Solusi dan Inovasi untuk Menahan Krisis Iklim
mongabay.co.id - on 01 Dec 2022

Source: https://www.mongabay.co.id/2022/03/31/ini-tawaran-solusi-dan-inovasi-untuk-menahan-krisis-iklim/

Summary:

Sejumlah peneliti membahas penyebab krisis iklim dari degradasi hutan di darat dan pesisir laut. Pelepasan emisi dari pengerusakan hutan, alih fungsi lahan gambut, dan kerusakan kawasan mangrove adalah sejumlah prioritas yang harus direspon. Termasuk mendorong solusi dan inovasi bagi warga dan perusahaan.

Hal ini dibahas dalam diskusi dalam jaringan (online) yang digagas @america, Pusat Kebudayaan dari Kedubes Amerika Serikat dalam program Digital iLearn pada minggu lalu. Sesi pertama dari tiga sesi tentang hutan kerjasama dengan Mongabay Indonesia ini dimulai dari topik How Can Forests Fight Climate Change?

Andika Putraditama, Deputy Program Director Agriculture, Forest, and Land Use World Resources Institute (WRI) Indonesia memulai dengan memaparkan fakta, kenapa harus menyelamatkan hutan? Masyarakat global memberi perhatian pada 10 risiko tertinggi yang dianggap serius oleh pemangku kepentingan melalui survei World Economic Forum Global Risks Perception Survey 2021-2022. Hasilnya, didominasi masalah lingkungan. Urutan pertama adalah climate action failure, jika gagal memitigasi, menurutnya akan besar sekali dampaknya.

Berikutnya extreme weather, biodiversity loss, social cohesion erosion, livelihood crisis, infectious desease, human environmental damage, natural resources crisis, debt, dan geooceanomic confrontation.

Sejumlah risiko tertinggi secara global itu sangat terkait hutan. Hutan juga sumber makanan di kawasan rural, jutaan orang masih sangat tergantung hutan terkait pasokan pangan. “Infeksi menular, zoonosis penyakit dari hewan yang menular ke manusia akibat ruang lingkup binatang liar menghilang,” jelasnya. Itu juga terkait dengan degradasi hutan.

Degradasi lingkungan dan krisis iklim sudah jadi fokus utama. Konsentrasi karbon dioksida selaras dengan kenaikan suhu bumi. “Trennya naik terus, jika tak bisa menghentikan gas rumah kaca ke atmosfer akan makin parah,” tambah Andika.

Tujuan Paris Agreement berkomitmen tiap negara harus menahan kenaikan suhu 2 derajat setelah revolusi industri. Tapi skenario paling optimis hanya bisa tahan 1,5-2,4 derajat dengan mitigasi sangat agresif. “Kita pasti menghadapi disrupsi musim panas atau musim hujan ekstrem, krisis pangan, dan lainnya,” lanjutnya.

Ia mengutip artikel terbaru, Kutub Utara dan Kutub Selatan mengalami kenaikan suhu ekstrem, 40 derajat celcius, dan ini perlu aksi nyata. Sementara itu profil emisi Indonesia di berbagai sektor menunjukkan, kontribusi terbesar akibat pembukaan lahan dan kehutanan. Bakar hutan dan membabat lahan gambut membuat banyak emisi terlepas. “Jika ingin kontribusi krisis klim, harus mengurangi deforestasi secara signifikan,” imbuhnya.

Ada sejumlah alasan kenapa hutan sangat penting untuk menjaga kenaikan suhu global. Pertama, pohon menyerap emisi atau CO2, lalu menyimpan dalam bentuk biomassa yang diperlukan untuk membesarkan dahan, daun, ranting. Ketika hutan hilang, emisi terlepas dan di atmosfer jadi lebih padat. Ketika hutan dibabat dan terdekomposisi, karbonnya lepas ke atmosfer.

Proporsi deforestasi, dibanding emisi bahan bakar dan metana, menyumbang emisi 12% secara global sangat besar. Jika tropical deforestasi dianalogikan sebagai negara, luasnya jadi terbesar ketiga di bawah Amerika dan China. Karena itu betapa pentingnya menahan emisi dari deforestasi.

“Tak hanya melepaskan emisi, tapi kehilangan mekanisme untuk menyerap karbon. Ketika kehilangan hutan, sangat kritis dampaknya,” tutur Andika yang menamatkan master jurusan kehutanan di Arizona University.

Membabat hutan atau membakar gambut ratusan ribu hektar bisa selesai satu pekan. Ia mengutip angka rata-rata kehilangan hutan yakni 220 ribuan hektar per tahun. Namun untuk menyerap emisi terlepas perlu lebih dari satu abad. Dari perbandingan ini, tak berimbang keuntungan atau nilai ekonomi dengan kehilangan jasa ekosistemnya. Perlu waktu sangat lama untuk pulih.

Gambut dibanding tanah mineral di hutan biasa, memiliki kandungan karbon jauh lebih besar. Jika kubah hidrologis gambut tak terjaga, maka emisi yang lepas sangat besar.

Alasan kedua, banyak sekali jasa ekosistem hutan jika bertahan utuh. Hutan menyediakan sumber air bersih, biodiversitas tumbuhan, pangan, rumah satwa. Warga yang tergantung sangat sulit bertahan hidup jika hutan rusak atau hilang.

Kehilangan hutan juga menguatkan siklus kemiskinan karena jika gas rumah kaca naik, suhu naik, petani rugi karena jadwal panen terganggu, kesulitan air, dan lainnya.

Hutan juga dinilai sangat efisien sebagai strategi mitigasi. Dibanding dengan berbagai penggunaan teknologi seperti infrastruktur energi terbarukan atau sistem pendingin lebih ramah lingkungan tapi padat modal, gedung, dan lainnya. Andika menilai, menahan laju deforestasi dinilai lebih efisien.

Sedangkan pemaparan terkait hasil risetnya tentang risiko dan mitigasi hutan mangrove disampaikan Perdinan, Phd, Deputy Director of Administration South East Asian Region Center for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP). Ia meneliti risiko krisis iklim dan kebijakan publik.

Banyak kawasan mangrove terdampak karena perubahan iklim. Target adaptasi Indonesia pada 2030, sesuai Roadmap NDC on Adaptation Aspect (MoEF, 2021) di antaranya membangun resiliensi dan meningkatkan kapasitas untuk adaptasi untuk menurunkan risiko perubahan iklim. Kerugian untuk Indonesia sekitar 2,87% GDP melalui ekonomi, sosial, dan penghidupan.

Langkahnya adalah mendukung resiliensi ekonomi melalui transformasi ekonomi karbon dan resiliensi melalui makanan, air, dan sistem energi. Resiliensi penghidupan dan sosial dengan peningkatan kapasitas melalui berbagai sistem kehidupan. Selain itu, meningkatkan jasa ekosistem dan lansekap melalui manajemen hutan teresterial, kelautan, dan ekosistem pesisir.

Mangrove Indonesia mengisi 27% mangrove dunia. Namun sekitar 40% rusak, karena faktor biofisik, manusia, dan iklim. Misal permukaan air naik, cuaca, dan lainnya. Kondisi biofisik dipengaruhi salinitas, angin, gelombang, dan pasang. Manusia jika berkontribusi dalam kerusakan seperti alih fungsi lahan.

Mangrove bermakna sebagai vegetasi jika per individu, lalu habitat, dan sebagai ekosistem.

Studi kasus di Pekalongan, menunjukkan, dari eksisting lahan mangrove 5,7 hektar, dengan 72% jenis Rhizophora sp, dipetakan masalah dan cara mengatasinya. Hasil riset menghasilkan master plan, dampak perubahan cuaca dengan analisis modeling, satelit, persamaan matematika, dan lainnya.

Data yang dipakai adalah data iklim dari Indonesia, NASA, data biofisik, data demografi, dan infrastruktur.

“Kerentanan mangrove di Indonesia, misal di Jawa Tengah termasuk sedang sampai tinggi akibat perubahan iklim dan konsisi eksisting saat ini,” contohnya.

Setelah tahu masalahnya, apa yang perlu dilakukan?

Perdinan mengatakan sulit untuk mengatur suhu udara dan permukaan laut. Karena itu faktor yang bisa diintervensi adalah faktor lain yang terkait temperatur udara seperti meningkatkan luasan area konservasi, menggunakan bibit yang lebih tahan stres seperti Avicennia, Aegiceras, Aegialitis, Sonneratia, Osbornia, dan lainnya.

Juga meningkatkan ketersediaan data untuk pemantauan cuaca terkait perencanaan dan monitoring. Serta perencanaan tata tuang dan regulasi dengan risiko perubahan iklim,

Indikator lain adalah daya dukung lingkungan, populasi, pendidikan. “Diturunkan jadi aktivitas, bisa berbeda sesuai dengan masalah yang dihadapi. Lalu dilaporkan sebagai komitmen Indonesia dalam pengelolaan dampak perubahan iklim,” sebutnya.

Setidaknya ada 6 pertanyaan dari pemirsa daring yang direspon dalam sesi diskusi.

Komitmen net zero emission di hutan dan lahan pada 2030 dinilai Andika cukup bagus walau yang ditekan emisinya dan di sisi lain masih ada deforestasi. “Aktivis ingin lebih ambisius, net carbon sink, tak lagi impas emisi tapi menyerap emisi. Semoga dinamika saat ini tak mengganggu trajektori. Misal karena perang, pasokan minyak berkurang dan menekan hutan. Rekor harga sawit dan ini bisa jadi insentif buka lahan, semoga bisa ditekan,” sebutnya.

Sejumlah solusi untuk mengurangi kerusakan mangrove, menurut Perdinan di antaranya mendorong mangrove center agar berdampak ekonomi. Ada juga Peraturan Presiden Republik Indonesia No 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Siasat lain menurutnya adalah mendorong inovasi untuk perubahan perilaku.

Terkait pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan, apakah ini akan menambah deforestasi dan emisi?

Andika mengatakan belum bisa menganalisis karena Amdal masih belum diakses publik, sehingga sulit dinilai apakah berdampak besar dan berapa hektar hutan yang hilang?

Sedangkan Perdinan menyebut sudah ada buku saku IKN dan terlibat di dalamnya. Menurutnya pembangunan perlu sumberdaya alam, yang penting recovery time, kapan pemulihan dan berapa lama untuk kembali. Salah satu hal yang dilakukan adalah menyusun resiliensi model. “IKN pasti berpengaruh pada lingkungan. Kuncinya inovasi teknologi terkait perubahan iklim, mitigasi dan adaptasi. Bisa diadopsi masyarakat,” katanya.

Andika juga mengingatkan hati-hati dalam skema carbon offset sebagai jalan pintas untuk mengurangi emisi entitas, jika sumber emisinya tak diatasi. Menurutnya harus dijadikan upaya terakhir setelah entitas melakukan dekarbonisasi. Terutama untuk sektor yang bisa mengurangi emisi dan dekarbonisasi misal pengusaha sawit menanam di lahan rendah karbon.

Bagi Perdinan, carbon offset sebagai sebuah langkah financial engineering, bagaimana menjaga hutan tapi tetap dapat kredit sehingga muncul carbon credit atau clean development mechanism (CDM). Muncul juga opsi carbon trading, dan ini dibahas di Perpres terkait nilai ekonomi karbon.

Ia mendorong carbon offset bisa menambah pendapatan asli daerah, karena perlu insentif ekonomi.

Inovasi lain yang didorong misalnya pelaksanaan pertanian dengan best agriculture practices bagi perusahaan besar. Sedangkan untuk pribadi atau kelompok, ada beberapa alat bantu untuk menghitung emisi, misalnya kalculator emisi. Misalnya menghitung emisi jika pergi naik kendaraan atau pesawat udara. Kalau mau menyerap emisi yang diproduksi, berapa jumlah pohon yang perlu ditanam? Salah satu cara internalisasi isu ini, terutama masyarakat urban yang jarang lihat hutan.


Download article

Share this: