Summary:
SAWITKU-Banjir dan longsor yang menghantam Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh dalam waktu hampir bersamaan menjadi alarm keras bagi para ahli.
Mantan Kepala Pusat Studi Bencana IPB University sekaligus Deputi Direktur Program Seameo Biotrop, Doni Yusri, menilai bencana kali ini mengungkap kelemahan mendasar dalam tata kelola lingkungan di Sumatra.
Menurut Doni, bencana ini tidak bisa lagi dipahami sebagai fenomena alam musiman. Kerusakan kawasan ekologis penting—terutama bentang Bukit Barisan—telah membuat wilayah itu kehilangan fungsi perlindungannya.
Padahal, struktur hutan pegunungan tersebut seharusnya menjadi sabuk hijau yang menahan luapan air dan potensi longsor.
Doni mengingatkan bahwa pola bencana seperti ini pernah muncul sebelumnya dalam skala kecil di berbagai daerah yang mengalami eksploitasi hutan.
Namun karena pelajaran masa lalu tidak direspons serius, kerusakan makin meluas dan daya dukung lingkungan terus menurun.
“Kita seperti lupa sejarah. Bencana ini bukan kejadian pertama, dan pola kerusakannya persis seperti wilayah yang mengalami eksploitasi hutan secara intensif,” ujarnya, Minggu (7/12/2025).
Perubahan iklim yang membuat curah hujan sulit diprediksi, menurut Doni, hanyalah “pemantik”.
Faktor utamanya adalah lemahnya kemampuan lingkungan menahan air akibat deforestasi dan konversi lahan yang berlangsung bertahun-tahun.
Inilah sebabnya, meski Sumatra memiliki banyak taman nasional, kerusakan yang terjadi tetap parah. Fungsi perlindungan di kawasan konservasi pun tampak melemah.
“Intensitas hujan makin sulit ditebak, sementara kondisi lingkungan kian rapuh. Kombinasi ini menjadikan bencana berkembang lebih besar dari seharusnya,” tegasnya.
Bukit Barisan Kehilangan Fungsi Protektif
Bentang Bukit Barisan yang semestinya menjadi kawasan lindung utama justru menunjukkan indikasi kerusakan signifikan.
Doni menyebut keterbatasan taman nasional dalam menahan dampak banjir dan longsor sebagai bukti bahwa proteksi kawasan tersebut tidak lagi optimal.
Temuan gelondongan kayu di lokasi banjir, pembukaan lahan baru, serta dominasi monokultur sawit menjadi petunjuk jelas bahwa aktivitas manusia berperan besar memperburuk situasi.
Doni menekankan bencana ini tidak mungkin terjadi secara alami tanpa intervensi tersebut.
“Sulit diterima jika ini dianggap murni bencana alam. Kerusakan legal maupun ilegal membuat ekosistem tidak mampu pulih, dan itu yang memicu tragedi sebesar ini,” ujarnya.
Doni menegaskan bahwa bencana di Sumatra harus menjadi titik balik. Tanpa pembenahan serius terhadap pengelolaan hutan dan kawasan lindung, bencana serupa akan terus berulang—bahkan dalam skala yang lebih buruk.***
Download article